header-swiper-1
header-swiper-2

Bondo, Bahu, Pikir, Lek Perlu Sak Nyawane Pisan

30/01/2016 | Pengetahuan



 

 

 

Oleh, Drs. KH. Mahmud Farid, M.Pd.*

Pondok adalah lahan perjuangan bagi kyainya, guru-gurunya, santri-santrinya, dan anshorul ma’had yang lain. Di  sini adalah tempat penyemaian amal shaleh; pabrik kebaikan dan markas orang-orang yang ingin beruntung sebagaimana anjuran Allah dalam Q.S. Al-Ashr; yaitu mereka yang beriman, beramal shaleh dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Pondok bukanlah perusahaan atau lembaga kapitalis. Seiring zaman yang semakin modern- di saat banyak sekolah berubah menjadi sapi perahan bagi pemiliknya- kita lantas tidak latah menyebut pesantren sebagai tempat usaha dan ladang kehidupan; santri wajib bayar SPP, guru lantas memberikan jasa. Kyai tidak sedang mencari uang, guru tidak sedang mencari gaji, dan wali santri tidak sedang membeli jasa. Tidak sama sekali!

Maka di pondok kita tidak mengenal take and give. Tapi give, give, and give. Kyai mengerahkan sekuat tenaga bekerja sebagaikhodimul ma’had. Guru-guru dan karyawan bergerak sepenuh hati sebagai anshorul ma’had, dan santri-santri mengambil bagian sebagai tholibul ‘ilmi. Semuanya berjalan dalam lingkungan perjuangan li izzatil Islam wal Muslimin.

Maka dari itu, prasyarat utama berjuang di sini adalah keikhlasan. Guru harus ikhlas dalam mendidik santri-santrinya, dan santri-santri harus ikhlas mendapatkan pendidikan dari guru-guru. Guru-guru mengajar mengikuti panggilan jiwa mereka, bukan panggilan untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Di Condong, guru tidak dibayar karena mengajar, mengawas, dan memeriksa soal-soal ujian. Yang ada adalah, pimpinan pesantren berusaha untuk memenuhi kesejahteraan guru supaya total dan menjalankan tugas-tugas kepesantrenan.

Maka wajar, kita melihat banyak guru dan santri yang keluar dari pondok, karena tidak ikhlas mendidik dan dididik.

Berjuang di pesantren Condong adalah implementasi dari janji kita kepada Allah untuk hidup karena-Nya dan di jalan-Nya. Perhatikan komitmen yang kita bacakan setiap shalat, “Inna shalati, wa nusuki, wa mahyaaya, wa mamaati, lillahi rabbil ‘alamiin.” Sesungghunya shalat saya, ibadah saya, hidup saya, dan mati saya, hanya untuk Sang Penguasa alam semesta. Untuk itulah berjuang di sini menjadi hal yang sakral; karena menyangkut komitmen kita pada Allah.

Berjuang di sini berarti menuruti titah Baginda Rasul Muhamamd SAW. Beliau bersabda, “Balligu ‘anni walau aayaah.”Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Kita ingin menjadi bagian dari warisatul anbiyaa, pewaris para nabi; yang menyiarkan syiar agama Allah, yang ikut menyebarkan ajaran-Nya di muka bumi. Dalam titik ini, berjuang di pondok berarti memperjuangkan agama Allah.

Karena perjuangan ini sakral; menyangkut janji kita kepada-Nya, kami yakin bahwa mati di jalan perjuangan ini adalah jihad fisabilillah. Allah pun sudah menegaskan dalam Q.S. At-Taubah ayat 122 yang menginstruksikan sebagian umat Islam untuk tidak pergi ke medan perang, akan tapi berjuang di medan pena untuk memperdalam pengetahuan mereka. Kita bisa melihat jalan yang kita lalui insya Allah sama sucinya dengan berperang melawan musuh-musuh Allah.

Maka, kalau saja para mujahid yang berperang di jalan Allah siap mengorbankan harta dan jiwa mereka, mengapa kita tidak bisa? Kita harus siap berkorban bondo, bahu, pikir lek perlu sak nyawane pisan! Kita berkorban dalam memperjuangkan pondok dengan benda kita, badan kita, pikiran kita, dan kalau perlu nyawa kita sekalian. Inilah bentuk totalitas perjuangan yang sebenarnya.

Suatu saat kami pernah dipanggil pihak kepolisian atas tindakan yang dilakukan oleh bagian keamanan OSPC yang menghukum salah satu santri yang kedapatan mencuri. Ayah santri tersebut kebetulan adalah seorang polisi dan tidak menerima perlakukan bagian keamanan OSPC yang menjalankan tugasnya menegakkan disiplin pondok. Waktu itu, kami, mewakili ayah kami sebagai pimpinan pondok, datang ke kantor polisi ditemani beberapa kolega. Dan ternyata apa yang terjadi? Kami disiksa, dipukuli, ditelanjangi, disundut puntung rokok, dan dikata-katai hal-hal yang tidak senonoh. Lantas dengan kejadian ini, apakah kami berhenti berjuang dalam mendidik di pesantren ini? Insya Allah tidak! Ini adalah bagian dari resiko perjuangan.

Di lain waktu, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena pondok tidak memberikan gaji, kami berwirausaha dengan beternak ayam. Suatu waktu, kandang ayam kami terbakar, dan kami pun ikut terbakar. Beberapa bagian tubuh melepuh karena panasnya api. Terus, paska kejadian ini, apakah kami meninggalkan pondok? Nyatanya, alhamdulillah kami masih di sini. Berjuangkan memajukan pondok untuk izzatul islam wal muslimiin.

Karenanya kami sadar, bahwa totalitas dan keikhlasan adalah prasyarat utama berjuang di pondok ini. * Kepala SMAT Riyadlul Ulum